Membuka Relung
Hati
Kisah menarik berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita
agar selalu mempertahankan
kejujuran dalam segala kondisi.
Simaklah kisahnya
sebagai berikut.
Suatu ketika
seorang sahabat Rasulullah
saw. yang bernama Wasilah bin Iqsa
sedang berada di pasar ternak. Tiba-tiba
saja ia menyaksikan seseorang tengah
menawar unta. Ketika ia lengah, pembeli itu telah menuntun unta yang telah
dibelinya dengan harga
300 dirham. Wasilah bergegas mendapatkan si pembeli
tersebut seraya bertanya, “Apakah unta yang engkau beli
itu unta untuk disembelih atau sebagai tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta
ini untuk dikendarai.” Kemudian Wasilah memberikan nasihat bahwa unta tersebut tidak
akan
tahan lama karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun bergegas kembali
menemui si penjual dan menggugat, sehingga akhirnya terjadi pengurangan harga 100 dirham.
Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga
engkau dikasihi Allah
Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.” Mendengar ucapan tersebut, Wasilah menimpalinya, “Kami
sudah berbai’at kepada
Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual barangnya kecuali
dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan Muslim dari Wasilah).”
Itulah
nilai-nilai kejujuran, walaupun berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan. Kejujuran itu sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi
sedikit sekali yang dapat
menerapkannya.
Aktivitas 1
1. Setelah kamu membaca wacana di atas, bagaimana jika hal tersebut terjadi pada dirimu? Apakah kamu
akan tetap berlaku jujur meskipun akan menanggung
risiko yang berat, ataukah kamu akan melakukan kecurangan ketika orang lain
tidak mengetahui?
2. Ceritakan contoh nyata yang pernah kamu ketahui baik yang terjadi pada
orang-orang yang kamu kenal maupun pada orang lain.
A. Memahami Makna Kejujuran
1. Pengertian Jujur
Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan “aś-śidqu” atau “śiddiq” yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta, atau dalam bahasa Arab ”al-ka©ibu”.
Secara istilah, jujur atau aś-śidqu bermakna (1) kesesuaian antara ucapan
dan perbuatan; (2) kesesuaian antara informasi dan kenyataan; (3) ketegasan dan kemantapan hati;
dan (4) sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.
2. Pembagian Sifat Jujur
Imam al-Gazali membagi
sifat
jujur atau benar (śiddiq)
sebagai berikut.
a. Jujur dalam niat atau berkehendak, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan
dan gerakannya selain dorongan karena Allah
Swt.
b.
Jujur dalam perkataan
(lisan), yaitu sesuainya
berita yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Ia tidak
berkata kecuali
dengan jujur. Barangsiapa yang
menjaga lidahnya dengan cara selalu
menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta
yang sebenarnya, ia termasuk jujur jenis ini. Menepati janji termasuk
jujur jenis ini.
c. Jujur dalam perbuatan/amaliah,
yaitu beramal dengan sungguh-
sungguh sehingga perbuatan żahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang
ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya.
Labels:
Buku Siswa
Thanks for reading Jujur sebagai Cermin Kepribadian. Please share...!
0 Comment for "Jujur sebagai Cermin Kepribadian"